Ada hal-hal yg aku tunggu setiap jadwal control. Selain
hasil scanning, juga cerita2 dari sesame pasien, ketika kita ngobrol antri di
ruang tunggu. Terus terang aku sangat
menikmati kegiatan sharing itu, berbagi pengalaman dan saling menyemangati.
Toh aku masih melihat ada beberapa teman yg kurang nyaman untuk antri, mungkin karena sakit jadi pengennya istirahat.
Toh aku masih melihat ada beberapa teman yg kurang nyaman untuk antri, mungkin karena sakit jadi pengennya istirahat.
Padahal ruang tunggu disiapkan dengan sangat nyaman, mungkin
karena sakit jadi pengennya cepet istirahat. Coba lihat ruang tunggu nya….
Ruangannya sangat bersih, ber AC. Kursi bersih tertata
dengan apik, lengkap dengan air minum cup dibeberapa sudut ruangan. Mau
baca koran, ada beberapa koran yg diatur rapi. Meskipun ga ada wifi, tapi
colokan listrik dimana2. Jadi tetep bisa online pakai laptop yg kita bawa,
atau bisa pakai hp tanpa kuatir kehabisan baterei. Kamar kecil dan musholla
sangat bersih. Sekarang malah ada kantin kecil dibelakang gedung, jadi kalau
kelaparan ga perlu keluar buat beli makanan.
Sangat nyaman.Tapi itulah perjuangan atau ikhtiar kita untuk sembuh…..sholat dan sabar.
Sabar antri, sabar menahan sakit, sabar ga sembuh2…….sabar
terus.
Dari ruang tunggu inilah banyak cerita dari teman2, buat aku
hal itu sangat meringankan sakitku. Dibanding mereka, aku merasa sakitku ga ada artinya.
Sangat inspiratif.
Sangat inspiratif.
Salah satunya cerita dari bu Ira tentang putranya Wahyu yg
menderita tumor otak dalam usia anak2.
Demikian penuturan beliau kepada kepada tim ( ditulis mas Lutfi )
Anak saya
bernama Ekhsan Wahyu Wulan Suciadi, yang lebih dikenal dengan nama Wahyu. Lahir di Jakarta pada tanggal 7 Juni 1984
tepat bulan suci Ramadhan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Wahyu merupakan
anak pertama dari dua bersaudara dari Adi Siswanto (Adi 58 tahun) dan Wagirah
(Ira 54 tahun). Dalam proses persalinannya, Wahyu dilahirkan secara normal,
dengan berat 3,8 kg dan panjang 51 Cm.
Sebagaimana anak seusianya, sejak lahir hingga
usia delapan tahun, dia tumbuh sehat dan hampir tidak pernah sakit parah bahkan
tidak ada keluhan atau kelainan apapun.
Ia merupakan anak yang aktif, cerdas dan supel. Dalam perjalanan usia ke
8 tahun, Wahyu sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar Islam swasta di Ciledug dan
selalu mendapat peringkat. Berawal dari kekhawatiran saya, karena merasa ada
perubahan pada kondisi Wahyu dengan mengeluh pusing dan sering mual. Bahkan pada
beberapa kesempatan sebelum berangkat sekolah,tepatnya tahun 1992, ketika Wahyu sedang saya suapi mengalami
muntah-muntah dan merasakan pusing yang berlebihan. Kami kira ada gangguan pada
matanya.
Selang beberapa hari
saya memeriksakan Wahyu ke dokter mata di rumah sakit terdekat, menurut penjelasan
dokter tidak ada kelainan pada mata Wahyu dan menyarankan untuk periksa lanjutan
ke dokter saraf. Tanpa berpikir panjang
saya langsung membawa Wahyu periksa ke dokter saraf di rumah sakit yang
sama. Dari hasil pemeriksaan sementara, dokter ahli saraf pun menyarankan supaya
segera dilakukan CT Scan untuk melihat
bagian dalam kepala Wahyu.
Setelah hasil CT Scan dibaca oleh dokter yang saat itu
praktek, dokterpun memberi isyarat bahwa
Wahyu dan Ayahnya diminta keluar ruang periksa terlebih dahulu, kemudian dokter
menjelaskan bahwa syaraf di kepala Wahyu “Acak-acakan” itulah penyebab Wahyu
sering mengeluh pusing dan mual. Saat itu dokter langsung membuat memo kecil
yang isinya bahwa saya segera diminta membawa Wahyu ke rumah sakit yang lebih
besar di Jakarta untuk langsung periksa ke bagian bedah syaraf.
Berdasarkan
penjelasan dokter, saya langsung membawa Wahyu ke rumah sakit ke bagian bedah
syaraf keesokan harinya. Selama dua hari dilakukan diagnosa, atas persetujuan
saya dan suami saya maka tindakan operasi kepala Wahyu pun dilakukan, dengan
tujuan mamasang VP Shunt di bagian
belakang kepalanya untuk mengelola hydrochepalus
setelah itu dilanjutkan dengan radiasi atau penyinaran selama satu bulan.
Setelah dilakukan
treatment operasi dan radiasi,
pemulihan Wahyu memakan waktu kurang lebih satu tahun hingga Wahyu dapat beraktifitas
normal dan dapat melanjutkan sekolahnya yang sempat tertinggal selama satu tahun.
Tidak ada keluhan ataupun kelainan pada Wahyu pasca operasi tersebut.
Oktober 1997
sepulang sekolah tangan dan kaki bagian kiri Wahyu mulai lemah, tangannya agak sulit
untuk digerakkan dan dikontrol. Kaki pun terasa lemas pada saat itu, saya melakukan
konsultasi kepada dokter saraf sebelumnya, kemudian dilakukan CT Scan untuk memastikan tindakan yang
akan dilakukan. Dari hasil CT Scan
diperoleh kesimpulan bahwa VP Shunt
pada bagian belakang kepala Wahyu macet dan harus dilakukan revisi pada VP Shunt tersebut.
Operasi revisi pun dilakukan dan berjalan dengan lancar tanpa kendala,
kemudian Wahyu menjalani perawatan selama kurang lebih satu tahun hingga benar-benar
kondisinya pulih.
Sedikit lucu ceritanya,
pada tahun 1999 saat Wahyu ingin adzan di masjid dekat rumah pada saat itu Wahyu
berebut microphone dengan muadzin masjid. Pada saat berebut microphone, tanpa sengaja saat mengangkat kepalanya terbentur
podium Imam yang terbuat dari kayu dan seketika itu tubuh Wahyu tidak bisa digerakkan
dalam beberapa saat.
“Entah cobaan apa lagi
yang akan Engkau berikan, hanya ketabahan dan kesabaran yang bisa aku lakukan.”
Ucap saya dalam hati pada saat itu.
Secepatnya Wahyu
saya bawa ke rumah sakit untuk diperiksakan, tapi rumah sakit yang berbeda
dengan sebelumnya. Baru pada tahun itu saya mengetahui bahwa anak saya menderita
tumor otak. Itu pun setelah dijelaskan oleh
profesor, berbeda sekali dengan penjelasan dokter sebelumnya. Profesor dimaksud
menjelaskan lebih detil bahwa harus ada operasi untuk pengangkatan tumor dibagian
otak Wahyu setelah melakukan CT Scan
dan MRI.
Operasi untuk ketiga
kalinya dilakukan, kali ini untuk pengangkatan massa tumor. Alhamdulillah operasi
berjalan dengan lancar meskipun massa tumor tidak bisa diangkat secara keseluruhan
karena terlalu beresiko tutur tim dokter
pada saat itu. Butuh waktu satu tahun lagi
untuk pemulihan Wahyu.
Setelah operasi
pengangkatan massa tumor, mata Wahyu pun menjadi juling (strabismus), keseimbangan tubuh menjadi tidak sempurna hanya memori
yang masih sempurna. Pada saat itu saya
berinisiatif memondokkan Wahyu untuk belajar agama di salah satu pesantren di
Jawatimur, dikarenakan sekolah Wahyu yang tertunda. Wahyu pun banyak belajar,
mulai dari ilmu pengetahuan umum, sampai belajar membaca Alquran.
Hampir tiga tahun
lamanya Wahyu saya titipkan di pesantren, saat saya sedang bekerja tepatnya pada
saat jam makan siang, saya mendapat telepon dari salah satu ustadz yang
membimbing Wahyu bahwa Wahyu ingin pulang karena tidak dapat mengikuti pelajaran
secara maksimal.
Wahyupun saya jemput
untuk kembali ke Tangerang, kondisinya semakin memprihatinkan, keseimbangannya jauh
berkurang dari sebelumnya. Selama Wahyu tinggal bersama saya dan keluarga di Tangerang,
kesehatannya pun terus mengalami penurunan, khususnya kondisi keseimbangan
tubuhnya bahkan matanya. Atas persetujuan keluarga sayapun memeriksakan Wahyu
ke Prof yang mengoperasi tumor di kepala Wahyu. Tahapannya pun masih sama,
dilakukan MRI pada Wahyu, cek darah lengkap dan lagi-lagi dilakukan operasi.
Operasi kali ini selain pengangkatan tumor juga dilakukan pemasangan VP Shunt baru pada bagian depan untuk
mengelola hydrochepalus, selain itu juga dilakukan radiasi selama satu bulan.
“Entah berapa biaya
yang sudah kami keluarkan untuk pengobatan Wahyu, sampai saya tak mampu menghitungnya”.
Kondisinya belum
pulih benar saat itu, ditengah kebosanan karena harus memakan obat yang begitu
banyak, Wahyu berseloroh dan bicara bahwa dia ingin menunaikan Ibadah Haji. Alhamdulillah atas kebesarah Allah SWT yang
telah memberikan rezeki kepada kami sekeluarga, berangkatlah saya dan Wahyu ke
Tanah Suci pada tahun 2002. Sementara suami saya mengalah untuk menunda dulu
keinginannya menunaikan Ibadah Haji, karena biaya yang belum mencukupi jika
kami berangkat bertiga. Saya memang sudah sejak lama berniat menunaikan Haji
bersama Wahyu dan Ayahnya. Selama di Tanah Suci Mekkah kami dibantu oleh Muthowif (jasa petugas haji diMekkah dan
Madinah) khususnya membantu Wahyu karena jalannya pun masih goyang dan limbung serta pendengarannya pun berkurang pasca operasi
yang keempat. Saya tuntun pelan-pelan untuk
mengitari Ka’bah, bersama dengan Muthowif
tersebut. Saya dan Wahyu berdoa untuk kesembuhannya dan untuk kebaikan keluarga
kami nantinya.
Hingga pada tahun
2003 karena kondisi Wahyu yang terus-menerus menurun maka harus dilakukan operasi
yang kelima pada Wahyu, sejak saat itu kondisinya semakin memburuk, tidak menunjukkan
adanya perbaikan. Kejadian yang sangat mengejutkan tepatnya tanggal 19
September 2005, Wahyu sudah benar-benar tidak bisa mendengar karena terjatuh
dan terbentur dengan tembok. Komunikasi pun berubah, yang semula percakapan menjadi
tanya jawab dengan media tulisan, pertanyaan yang saya ajukan semuanya dengan
isyarat dan tulisan.
Cobaan belum berhenti
disitu, masih ditahun yang sama Wahyu koma (hilangnya kesadaran) selama 6
bulan, 1 bulan di rumah sakit dan 5 bulan dirumah. Untuk makan sehari-hari dipasang Sonde melalui
hidungnya. Semua saya lakukan sendiri
dibantu seorang pembantu yang menemani kami, mulai dari member makan lewat sonde, memberiobatcair,
sampai membersihkan kotoran. Tidak ada perawat yang mau dan sanggup merawat Wahyu,
karena kondisinya seperti mayat hidup, pada saat itu semua menolak untuk merawat
Wahyu. Sedangkan bila harus dirawat terus di rumah sakit, kami sudah tidak
punya biaya untuk membayarnya.
Semua saran dari
beberapa teman dan keluarga, obat-obatan herbal, terapi, suplemen dari segala macam
MLM (multi level marketing) ataupun pengobatan supranatural semua dijalani, namun belum menunjukkan
perubahan yang signifikan. Kondisinya sangat
memprihatinkan, perutnya sangat besar bahkan lebih besar dari bagian apapun dari
tubuhnya. Hal tersebut disebabkan BAB (buang air besar) harus dibantu dengan
microlax setiap harinya. BAB nya pun
tidak rutin, bisa sampai dua minggu sekali. Hingga saya mencoba teh herbal pada
saat itu, saya memberikannya sebanyak 3 kali dalam sehari dan hasil yang luar biasa
didapatkan, Wahyu BAB sangat banyak dan buang angin secara terus menerus. Selang beberapa hari perut Wahyu berangsur mengecil.
Tahun 2005
sampai 2007 Wahyu saya rawat di rumah, berbaring selama itu membuat Wahyu terserang
decubitus dikarenakan minimnya mobilitas
(kurangbergerak), aktifitas yang dilakukan hanya berbaring dan duduk dikursi
roda, sesekali berjalan dengan bantuan 2 orang pendamping yang merawatnya dan
itu berlangsung hingga tahun 2013 dan kondisinya belum mengalami perubahan yang
berarti.
Pada bulan
September 2013 Wahyu mengalami kejang dan tidak sadar, dan saya harus segera
membawanya ke RSU (rumah sakit umum), karena kami pakai fasilitas Multiguna
oleh dokter yang mengoperasi Wahyu untuk melakukan operasi revisi VP Shunt untuk mengelola hydrochepalus pun kembali diperbaiki
kali ini bukan bagian kepalanya yang dioperasi, namun dibagian perut sebelah kanan.
Atas kemurahan
Allah SWT, ditengah obrolan saya dengan teman-teman di kantor, pada bulan awal Oktober
2013 salah seorang teman Liena Kartiningsih namanya, memberi informasi bahwa
ada terapi Kanker dengan alat listrik begitu tuturnya, tempatnya di Alam
Sutera. Spontan setelah saya mendengar info itu, saya dibantu browsing oleh Ibu Liena mendapat nomor
telepon Klinik Kanker yang dimaksud. Rupanya tak semudah saya bayangkan untuk
segera mendapat info itu langsung dari
Klinik tersebut. Mulai pukul 10.30 WIB saya menghubungi, ternyata line
(jaringan) tersebut sangat sibuk dan baru pukul 15.30 WIB saya berhasil mendapat info
tentang klinik tersebut.
Setelah
Wahyu menjalani terapi gelombang
elektrostatis kurang lebih selama 3 bulan, kondisinya mulai membaik yang
ditandai bahwa Wahyu bisa menelan ludahnya saat tidur malam. Wahyu sejak tahun
2010, memang ada luka dibagian kepala sebelah kirinya diatas telinga, luka
tersebut diakibatkan karena ada tahi lalat yang digaruk-garuk, kemudian menjadi
luka dan tidak bisa kering dan sering berdarah. Pada tanggal 27 Januari 2014,
saya membawa Wahyu ke rumah sakit dan menanyakan perihal luka tersebut kepada Prof
yang mengoperasi tumor Wahyu. Prof menyarankan
untuk dilakukan MRI guna melihat bagian dalam kepala Wahyu dan tindakan yang
harus dilakukan. Pukul 22.00 WIB malam itu hasil MRI telah selesai dan saya pun
kembali menghadap Prof untuk minta penjelasan. Oleh Prof tersebut dijelaskan
bahwa terjadi perdarahan di kepala bagian kiri. Namun hal yang sangat membuat
saya agak lega bahwa beliau menyatakan berdasarkan hasil MRI pada 27 Januari
2014, cairan (Hydrochepalus) di kepalaWahyu
berkurang drastis.
Sujud syukur serta
puji-pujian tak henti-hentinya saya haturkan ke Sang Pencipta Allah SWT, kondisi
saat ini belum ada perbaikan dalam keseimbangannya, hanya motorik Wahyu yang
sedikit membaik, serta beberapa respon. Untuk menjaga stamina dan kondisinya
saya secara rutin member asupan nutrisi dengan konsumsi Bekatul, Vitamin C, Air
Kelala Hijau, Sayuran, dan Putih Telur, Susu, serta madu. Atas kepedulian dan bantuan semua pihak, kami
mengucapkan terima kasih. Besar harapan kami sekeluarga semoga Allah SWT
memberikan kesembuhan yang terbaik bagi Wahyu, sehingga kondisinya semakin membaik. Aamiin Aamiin
Ya Robbal Alamiin. (Hamba yang berharap : Wagirah /Ira)
trimakasih buat mas Lutfi dan mba Ira yg sudah bersedia berbagi cerita.....semoga membangkitkan semangat buat teman2 yg lain....dan mas wahyu cepet sehat kembali, buat mba Ira dan suami tetep sabar dan ikhlas yaa......
ReplyDeleteCerita yang inspiratif dan menggugah. Menggambarkan perjuangan seorang ibu yang luar biasa....
ReplyDeleteTempat nya di alam sutera dimana Bu ?
ReplyDeleteAyah saya mengalami tumor otak namun tidak mengalami perbesaran yang berarti dalam 7 tahun, diumur beliau yang menginjak kepala 6 kondisinya drop drasstis kami sekeluarga sempat terpikir menggunakan cara vp shunt, namun kata dokter belum begitu perlu, dan kami juga ragu dan takut akan efek sampingnya, mohon diberikan kalau ada sarannya, terimakasih
Ya Allah....saya sedih setiap dihubungi seseorang yg membutuhkan info tentang klinik pak Warsito karena butuh terapi beliau.
ReplyDeleteKarena per 23 Februari 2016 klinik tersebut ditutup oleh Kemenkes atas desakan IDI.
Saat ini klinik hanya melayani pasien lama.
Menurut karyawan, ada 100 pasien lebih yg antri. Pasien baru.
Dan saya pun beberapa kali dihubungi seseorang, baik melalui email, WA, sms ataupun BBM. Lalu saya hanya bisa bilang kalau klinik ditutup.
Sedih sekali.
Semoga ayahanda mas Nerdha diberi kekuatan dan kesabaran. Semoga Allah memberi kesembuhan melalui jalan yg Allah kehendaki.
kenapa mesti di tutup yah jika memang klinik tersebut membantu untuk menyembuhkan tumor otak sayang sekali yah !
ReplyDeleteiya mba Dewi....dan saya masih saja terima sms atau email yg menanyakan....
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete